PENALARAN DAN LOGIKA
Penalaran
Kemampuan bernalar menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaannya. Secara simbolik manusia memakan buah pengetahuan melalui Adam dan Hawa, setelah itu manusia harus hidup berbekal pengetahuan. Di mana dia mengetahui mana yang benar mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, mana indah mana yang jelek. Secara terus-menerus manusia dipaksa harus mengambil keputusan untuk menentukan pilihan di antara yang benar dan salah, yang baik dan buruk, serta di antara indah dan jelek.
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun pengetahuan pada binatang hanya terbatas bagaimana mempertahankan hidup. Misalnya saja seekor anak kucing tahu bahwa ikan adalah makanan yang enak, tentu saja anak kucing diajari oleh induknya bahwa ikan itu makanan yang enak.
Manusia mengenal pengetahuan karena dua hal, yaitu manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut, serta manusia mempunyai kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Binatang mampu berpikir akan tetapi binatang tidak bisa bernalar. Instink binatang jauh lebih peka daripada instink seorang ahli geologi, binatang sudah jauh-jauh berlindung ke tempat yang aman ketika gunung meletus terjadi tetapi binatang tidak bisa menalar kenapa gunung meletus. Namun, tidak semua pengetahuan diperoleh dari proses bernalar sebab berpikir pun tidak semuanya berdasarkan penalaran. Manusia juga memperoleh pengetahuan dari fungsi alat indera, perasaan dan wahyu yang merupakan komunikasi tuhan dengan makhlukNya.
Hakikat Penalaran
Secara sederhana penalaran dapat didefinisikan sebagai proses pengambilan keputusan berdasarkan proposisi-proposisi yang mendahuluinya. Penalaran juga merupakan suatu proses berpikir dalam rangka untuk menarik kesimpulan atau menemukan kebenaran.
Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar. Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens), premis terdiri dari premis mayor dan premis minor dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequence). Hubungan antara premis dan konklusi disebut konsekuensi.
Penalaran juga merupakan aktivitas pikiran yang abstrak, untuk mewujudkannya diperlukan simbol. Simbol atau lambang yang digunakan dalam penalaran berbentuk bahasa, sehingga wujud penalaran akan berupa argumen.
Kesimpulannya adalah pernyataan atau konsep abstrak dengan simbol berupa kata, sedangkan untuk proposisi simbol yang digunakan adalah kalimat (kalimat berita) dan penalaran menggunakan simbol berupa argumen. Argumenlah yang dapat menentukan kebenaran konklusi dari premis.
Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa tiga bentuk pemikiran manusia adalah aktivitas berpikir yang saling berkait. Tidak ada proposisi tanpa pengertian dan tidak akan ada penalaran tanpa proposisi. Bersama – sama dengan terbentuknya pengertian perluasannya akan terbentuk pula proposisi dan dari proposisi akan digunakan sebagai premis bagi penalaran. Atau dapat juga dikatakan untuk menalar dibutuhkan proposisi sedangkan proposisi merupakan hasil dari rangkaian pengertian.
Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir bukan perasaan. Jadi kesimpulan yang dihasilkan dari penalaran adalah pengetahuan.
Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakannya yang bersumber pada pengetahuan yang didapatkan lewat kegiatan merasa atau berpikir. Berpikir adalah suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama. Benar bagi kita, belum tentu bagi orang lain; benar bagi orang lain, belum tentu bagi kita. Maka oleh sebab itu, proses kegiatan berpikir untuk dapat menghasilkan pengetahuan yang benar, itupun berbeda-beda. Sebagai kegiatan berpikir, maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu:
(1) Adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika. Berpikir logis adalah kegiatan berpikir berjalan menurut pola, alur dan kerangka tertentu (frame of logic).
(2) Adanya proses analitik dari proses berpikirnya. Berpikir analitis adalah konsekuensi dari adanya suatu pola berpikir analisis-sintesis berdasarkan langkah-langkah tertentu (metode ilmiah/penelitian).
Seperti yang disebutkan sebelumnya, tidak semua kegiatan berpikir itu bersandarkan pada penalaran. BLAISE PASCAL (1623-1662) mengatakan bahwa hatipun mempunyai logika tersendiri, namun patut kita sadari bahwa tidak semua kegiatan berpikir itu harus menyandarkan diri pada penalaran.
Cara berpikir yang tidak termasuk ke dalam penalaran bersifat tidak logis dan analitis. Cara berpikir tersebut adalah perasaan dan intuisi. Perasaaan merupakan suatu penarikan kesimpulan yang tidak berdasarkan penalaran. Intuisi adalah suatu kegiatan berpikir yang nonanalitik yang tidak mendasarkan diri kepada suatu pola berpikir tertentu.
Jika seseorang melakukan penalaran, maksudnya tentu adalah untuk menemukan kebenaran. Kebenaran dapat dicapai jika syarat – syarat dalam menalar dapat dipenuhi.
(1) Suatu penalaran bertolak dari pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang akan sesuatu yang memang benar atau sesuatu yang memang salah.
(2) Dalam penalaran, pengetahuan yang dijadikan dasar kesimpulan adalah premis. Jadi semua premis harus benar. Benar di sini harus meliputi sesuatu yang benar secara formal maupun material. Formal berarti penalaran memiliki bentuk yang tepat, diturunkan dari aturan – aturan berpikir yang tepat sedangkan material berarti isi atau bahan yang dijadikan sebagai premis tepat.
Penalaran Induktif dan Penalaran Deduktif
Penalaran dibedakan menjadi dua macam, yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif.
Penalaran induktif adalah proses berpikir untuk menarik kesimpulan dari bagian-bagian ( khusus) menjadi sesuatu yang universal (umum). Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum.
Untuk turun ke lapangan dan melakukan penelitian, penalaran induktif tidak harus memliki konsep secara canggih tetapi cukup mengamati lapangan dan dari pengamatan lapangan tersebut dapat ditarik generalisasi dari suatu gejala. Dalam konteks ini, teori bukan merupakan persyaratan mutlak tetapi kecermatan dalam menangkap gejala dan memahami gejala merupakan kunci sukses untuk dapat mendiskripsikan gejala dan melakukan generalisasi.
Dengan kata lain penalaran induktif adalah penalaran yang mengambil contoh-contoh khusus yang khas untuk kemudian diambil kesimpulan yang lebih umum. Penalaran ini memudahkan untuk memetakan suatu masalah sehingga dapat dipakai dalam masalah lain yang serupa. Catatan bagaimana penalaran induktif ini bekerja adalah, meski premis-premis yang diangkat benar dan cara penarikan kesimpulannya sah, kesimpulannya belum tentu benar. Tapi kesimpulan tersebut mempunyai peluang untuk benar.
Kesimpulan yang bersifat umum ini penting artinya sebab memberikan dua keuntungan. Keuntungan yang pertama ialah bahwa pernyataan yang umum ini bersifat ekonomis. Kehidupan yang beraneka ragam dan berbagai corak dan segi dapat direduksikan menjadi beberapa pernyataan. Pengetahuan yang dikumpulkan manusia bukanlah merupakan koleksi dari berbagai fakta, melainkan esensi dari fakta-fakta tersebut. Demikian juga dalam pernyataan mengenai fakta yang dipaparkan, pengetahuan tidak bermaksud membuat reproduksi dari obyek tertentu, melainkan menekankan kepada struktur dasar yang menyangga wujud fakta tersebut. Pernyataan yang begitu lengkap dan cermatnya tidak bisa mereproduksikan betapa manisnya semangkuk kopi atau pahitnya sebutir pil kina. Pengetahuan cukup puas dengan pernyataan element yang bersifat kategoris bahwa kopi itu manis dan pil kina itu pahit. Pernyataan seperti ini sudah cukup bagi manusia untuk bersifat fungsional dalam kehidupan praktis dan berpikir teoritis.
Keuntungan yang kedua dari pernyataan yang bersifat umum adalah dimungkinkannya proses penalaran selanjutnya, baik secara induktif maupun secara deduktif. Secara induktif maka dari berbagai pernyataan yang bersifat umum dapat disimpulkan pernyataan yang bersifat umum lagi. Umpamanya melanjutkan contoh di atas, dari kenyataan bahwa semua binatang mempunyai mata dan semua manusia mempunyai mata, dapat ditarik kesimpulan bahwa semua mahluk mempunyai mata. Penalaran seperti ini memungkinkan disusunnya pengetahuan secara sistematis, yang mengarah kepada pernyataan-pernyataan yang makin lama makin bersifat fundamental.
Penalaran induktif membutuhkan banyak sampel untuk mempertinggi tingkat ketelitian premis yang diangkat. untuk itu penalaran induktif erat dengan pengumpulan data dan statistik. Penalaran induktif ini mengangkat 1 kasus untuk ditarik dalam kesimpulan umumnya. Contohnya kurang banyak, dan meski penalaran induktif sudah kuat dengan contoh yang banyak, kesimpulan induktif yang dihasilkan pun masih bisa dipertanyakan keabsahannya.
Pada penalaran induktif konklusi lebih luas dibandingkan dengan premisnya. Generalisasi merupakan salah satu dari penalaran induktif.
Contoh :
Seorang peneliti ingin mengetahui apakah semua logam memuai bila dipanaskan? Untuk membuktikannya maka semua jenis logam dipanaskan dengan hasil pada masing-masing logam sebagai berikut :
Besi memuai bila dipanaskan
Baja memuai bila dipanaskan
Tembaga memuai bila dipanaskan
Logam A memuai bila dipanaskan
Logam B memuai bila dipanaskan
Sampai dengan logam terakhir memuai bila dipanaskan
Karena hasil penelitian menunjukkan suatu kebenaran yang mutlak maka dapat disimpulkan bahwa semua logam memuai bila dipanaskan.
Penalaran Deduktif adalah suatu penalaran yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan.
Metode ini diawali dari pembentukan teori, hipotesis, definisi operasional, instrumen dan operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian di lapangan. Dengan demikian pada konteks penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk memahami suatu gejala.
Penalaran deduktif juga seperti menarik kesimpulan khusus dari premis yang lebih umum. jika premis benar dan cara penarikan kesimpulannya sah, maka dapat dipastikan hasil kesimpulannya benar. jika penalaran induktif erat kaitannya dengan statistika, maka penalaran deduktif erat dengan matematika khususnya matematika logika dan teori himpunan dan bilangan.
Contoh :
Semua manusia fana pasti mati.
Justin adalah manusia.
Justin pasti (akan) mati.
Hukum Penalaran
Perlu dipahami bahwa “yang benar” tidak sama dengan “yang logis”. Yang benar adalah suatu proposisi. Sebuah proposisi itu benar kalau ada kesesuaian antara subyek dan predikat. Yang logis adalah penalaran. Suatu penalaran dinamakan logis kalau mempunyai bentuk yang tepat dan oleh sebab itu penalaran itu sahih. Dengan asumsi bahwa bentuk penalaran itu sahih, maka hubungan kebenaran antara premis dan kesimpulan dapat dirumuskan dalam hukum-hukum penalaran sebagai berikut :
Hukum pertama
“Apabila premis benar, konklusi benar”
Contoh :
Semua manusia akan mati (premis mayor)
Udin adalah manusia (premis minor)
Udin pasti (akan) mati (konklusi)
Premis mayor dan minor benar, oleh sebab itu kesimpulannya juga benar.
Hukum kedua
“Apabila kesimpulan salah, premis salah”
Contoh :
Semua manusia akan mati (premis mayor)
Malaikat adalah manusia (premis minor)
Malaikat pasti mati (konklusi)
Di sini kesimpulannya salah sebab premisnya salah. Premis mayor benar akan tetapi premis minor salah,karena malaikat bukan manusia. Jadi kesimpulan salah karena premis minor salah.
Hukum ketiga
“Apabila premis salah, kesimpulan bisa benar bisa salah”
Contoh :
Malaikat itu benda fisik (premis mayor)
Batu itu malaikat (premis minor)
Batu itu benda fisik (konklusi)
Pada contoh ini premisnya salah tetapi konklusi benar. untuk contoh premis salah maka kesimpulan salah lihat pada contoh hukum kedua.
Hukum keempat
“Apabila konklusi benar, premis bisa benar bisa salah”
Untuk contoh kesimpulan benar premis salah ada pada contoh di atas sedangkan kesimpulan benar premis benar ada pada contoh hukum pertama.
Logika
Logika berasal dari bahasa Latin, yaitu “logos” yang berarti perkataan atau sabda”. Dalam bahasa sehari-hari kita sering mendengar ungkapan seperti “alasannya tidak logis, argumentasinya logis, kabar itu tidak logis”. Yang dimaksud dengan “logis” adalah masuk akal dan tidak logis adalah tidak masuk akal. Prof Thaib Thair A.Mu’in membatasi logika sebagai “Ilmu untuk menggerakkan pikiran kepada jalan yang lurus dalam memperoleh suatu kebenaran”. Sedangkan Irving M.Copi menyatakan bahwa “Logika adalah ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dengan penalaran yang salah”. Demikian juga dalam buku “Logic and Language of Education” dari George F.Kneller (New York, 1966). Logika disebut sebagai “penyelidikan tentang dasar-dasar dan metode-metode berpikir benar sedangkan dalam kamus Munjid disebut sebagai “hukum yang memelihara hati nurani dari kesalahan dalam berfikir”. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa logika adalah suatu pertimbangan akal atau pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.
Logika berkaitan dengan aktivitas berpikir dan Psikologi juga berkaitan dengan aktivitas berpikir. Oleh karena itu, kita hendaknya berhati-hati melihat persimpangannya dari kedua konsep ini. Psikologi mempelajari pikiran dan kerjanya tanpa menyinggung sama sekali urusan benar-salah. Sebaliknya urusan benar-salah menjadi masalah pokok dalam logika. Logika tidak mempelajari cara berpikir dari semua ragamnya tetapi pemikiran dalam bentuk yang paling sehat dan praktis.
Banyak jalan pemikiran kita dipengaruhi oleh keyakinan, pola berpikir kelompok, kecenderungan pribadi, pergaulan dan sugesti. Juga banyak pikiran yang diungkapkan sebagai harapan emosi seperti caci maki, kata pujian atau pernyataan kekaguman. Ada juga pemikiran yang diungkapkan dengan argumen yang secara selintas kelihatan benar untuk memutar balikkan kenyataan dengan tujuan memperoleh keuntungan pribadi maupun golongan. Logika menyelidiki, menyaring dan menilai pemikiran dengan cara serius dan terpelajar dan bertujuan mendapatkan kebenaran, terlepas dari segala kepentingan dan keinginan perorangan.
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran, maka proses berpikir itu harus dilakukan melalui suatu cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses penarikan kesimpulan itu dilakukan manurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika, yang secara luas dapat didefinisikan sebagai “pengkajian untuk berpikir secara sahih”. Terdapat bermacam-macam cara penarikan kesimpulan, namun untuk sesuai dengan tujuan studi yang memusatkan diri kepada penalaran ilmiah, kita akan melakukan penelaahan yang seksama hanya terhadap dua jenis cara penarikan kesimpulan, yakni logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan di pihak lain, kita mempunyai logika deduktif, yang membantu kita dalam menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus bersifat individual.
Baik logika deduktif maupun logika induktif, dalam proses penalarannya, mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggap benar. Kenyataan ini membawa kita kepada sebuah pertanyaan: bagaimanakah cara kita mendapatkan pengetahuan yang benar tersebut ?
Pada dasarnya terdapat dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah didasarkan atas rasio dan yang kedua didasarkan atas pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan paham yang kita kenal dengan rasionalisme, sedangkan mereka yang mendasarkan diri kepada pengalaman mengembangkan paham yang disebut empirisme. Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari idea yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Idea menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori dan dapat diketahui oleh manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya. Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip dan justru sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran rasional itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita. Secara singkat dapat dikatakan bahwa idea bagi kaum rasional adalah bersifat apriori dan pra-pengalaman, dan didapatkan manusia lewat penalaran rasional. Masalah utama yang timbul dari cara berfikir ideal ini adalah mengenai kriteria untuk mengetahui akan kebenaran suatu idea yang menurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya. Idea yang satu bagi si A mungkin bersifat jelas dan dapat dipercaya, namun belum tentu demikian bagi si B. Mungkin saja bagi si B untuk menyusun sistem pengetahuan yang sama sekali lain dengan system pengetahun si A karena si B mempergunakan idea lain yang bagi si B merupakan prinsip yang jelas dan dapat dipercaya.
Jadi masalah utama yang dihadapi kaum rasionalis adalah evaluasi dari kebenaran premis-premis yang dipakainya dalam penalaran deduktif. Karena premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak dan terbebas dari pengalaman, maka evaluasi itu tak dapat dilakukan. Oleh sebab itu, maka lewat penalaran rasional akan didapatkan bermacam-macam pengetahuan mengenai suatu obyek tertentu tanpa adanya suatu konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam hal ini maka pemikiran rasional cenderung untuk bersifat solipsistik dan subyektif.
Berlainan dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu didapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak, melainkan lewat pengalaman yang konkret. Gejala-gejala alam menurut anggapan kaum empiris adalah bersifat konkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindera manusia. Gejala itu kalau kita telaah lebih lanjut mempunyai beberapa karakteristik tertentu, umpamanya saja terdapat pola yang teratur mengenai suatu kejadian tertentu. Suatu benda padat kalau dipanaskan akan memuai. Langit mendung diikuti dengan turunnya hujan. Demikian seterusnya, pengamatan kita akan membuahkan pengetahuan mengenai berbagai gejala yang mengikuti pola-pola tertentu. Di samping itu kita melihat adanya karakteristik lain, yakni adanya kesamaan dan pengulangan, umpamanya saja bermacam-macam logam kalau kita panaskan semuanya akan memuai. Hal ini memungkinkan kita untuk melakukan sesuatu generalisasi dari berbagai kasus yang telah terjadi. Dengan mempergunakan metode induktif maka dapat disusun pengetahuan yang berlaku secara umum lewat pengalaman terhadap gejala-gejala yang bersifat individual. Masalah utama yang timbul dalam penyusunan secara empiris ini ialah bahwa pengetahuan yang dikumpulkan itu cenderung untuk menjadi suatu kumpulan fakta. Kumpulan tersebut belum tentu bersifat konsisten dan mungkin saja terdapat hal-hal yang kontradiktif. Suatu kumpulan fakta, atau kaitan antara berbagai fakta, belum menjamin terwujudnya suatu pengetahuan yang sistematis; kecuali mungkin bagi “seorang kolektor barang-barang serbaneka”.
Lebih jauh Einstein mengingatkan bahwa tak ada metode induktif yang memungkinkan berkembangnya konsep dasar suatu ilmu. Kaum empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata karena merupakan gejala yang tertangkap oleh pancaindera, hal ini membawa kita kepada dua masalah. Pertama, sekiranya kita mengetahui dua fakta yang nyata, umpamanya rambut keriting dan intelegensi manusia, bagaimana kita merasa pasti mengenai kaitan antara kedua fakta tersebut? Apakah rambut keriting dan intelegensi manusia mempunyai kaitan dengan satu sama lain dalam hubungan kausalitas? Sekiranya kita mengatakan “tidak”, bagaimana sekiranya penalaran induktif membuktikan sebaliknya? Pertanyaan tersebut mengingatkan kita bahwa hubungan antara berbagai fakta tidaklah sedemikian nyata sebagaimana yang kita sangka. Harus terdapat suatu kerangka pemikiran yang memberi latar belakang mengapa X mempunyai hubungan dengan Y, sebab kalau tidak, maka konsekuensinya ialah bahwa semua fakta dalam dunia fisik bisa saja dihubungkan secara kausal.
Masalah yang kedua adalah mengenai hakekat pengalaman yang merupakan cara dalam menemukan pengetahuan dan pancaindera sebagai alat yang menangkapnya. Pertanyaannya adalah apakah yang sebenarnya dinamakan pengalaman? Apakah hal ini merupakan stimulus pancaindera? Ataukah persepsi? Atau sains? Sekiranya kita mendasarkan diri kepada pancaindera sebagai alat dalam menangkap gejala fisik yang nyata, maka seberapa jauh kita dapat mengandalkan pancaindera tersebut. Ternyata kaum empiris tidak bisa memberikan jawaban yang menyakinkan mengenai hakekat pengalaman itu sendiri. Sedangkan mengenai kekurangan pancaindera manusia, ini bukan merupakan sesuatu yang baru bagi kita. pancaindera manusia bisa melakukan kesalahan. Contoh yang biasa kita lihat sehari-hari ialah bagaimana tongkat lurus yang sebagian terendam di dalam air akan kelihatan menjadi bengkok. Haruskah kita mempercayai hal semacam ini sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan?
Di dalam rasionalisme dan empirisme masih terdapat cara lain untuk mendapatkan pengetahuan yang lain. Yang penting untuk kita ketahui adalah intuisi dan wahyu. Sampai sejauh ini, pengetahuan yang didapatkan secara rasional maupun secara empiris, kedua-duanya merupakan produk dari sebuah rangkaian penalaran. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tersebut. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahannya tersebut. Tanpa melalui proses yang berliku-liku tiba-tiba saja dia sudah sampai di situ. Jawaban atas permasalahan yang sedang dipikirkannya muncul di benaknya bagaikan kebenaran yang membukakan pintu. Atau, bisa juga intuisi ini bekerja dalam keadaan yang tidak sepenuhnya sadar, artinya jawaban atas suatu permasalahan ditemukan tidak pada waktu orang tersebut secara sadar atas suatu permasalahan ditemukan tidak pada waktu orang tersebut secara sadar sedang merenungkannya. Suatu masalah yang sedang kita pikirkan yang kemudian kita tunda karena menemui jalan buntu tiba-tiba saja muncul di benak kita lengkap dengan jawabannya. Kita merasa yakin bahwa memang itulah jawaban yang kita cari, namun kita tidak bisa menjelaskan bagaimaan cara kita sampai ke sana.
Kegiatan intuitif ini sangat bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur, intuisi ini tidak bisa diandalkan. Pengetahuan intuitif dapat dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakannya. Kegiatan intuitif dan analitik bisa bekerja saling membantu dalam menemukan kebenaran. Bagi Maslow intuisi ini merupakan pengalaman puncak (peak experience) sedangkan bagi Nietschze merupakan intelegensi yang paling tinggi.
Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi yang diutus-Nya sepanjang zaman. Agama mengandung pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transendental, seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhir nanti. Pengetahun ini didasarkan kepada kepercayaan akan hal-hal yang gaib (supernatural). Kepercayaan kepada Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi sebagai perantara dan kepercayaan terhadap wahyu sebagai cara penyampaian, merupakan dasar dari penyusunan pengetahuan ini. Kepercayaan merupakan titik tolak dalam agama. Suatu pernyataan harus dipercaya dulu atau dapat diterima. Pernyataan ini bisa saja selanjutnya dikaji dengan metode yang lain. Secara rasional bisa dikaji umpamanya apakah pernyataan-pernyataan yang terkandung di dalamnya bersifat konsisten atau tidak. Di pihak lain, secara rasional bisa dikaji umpamanya dikaji penyataan-pernyataan yang terkandung di dalamnya bersifat konsisten atau tidak. Di pihak lain, secara empiris bisa dikumpulkan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tersebut atau tidak. Singkatnya, agama dimulai dengan rasa percaya, dan lewat pengkajian selanjutnya kepercayaan itu bisa meningkat atau menurun. Pengetahuan lain, seperti ilmu umpamanya, bertitik tolak sebaliknya. Ilmu dimulai dengan rasa tidak percaya, dan setelah melalui proses pengkajian ilmiah, kita bisa diyakinkan bahwa ketidakpercayaan kita itu tak ditopang kenyataan, atau bisa pula kita tetap pada pendirian semula.
Jenis-Jenis Pengetahuan
Pengetahuan dapat diartikan secara luar, yaitu mencakup segala hal yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu. Pengetahuan dapat pula dikategorikan kepada 3 jenis yaitu :
1. Pengetahuan Inderawi (knowledge).
Pengetahuan ini meliputi semua penomena yang dapat dijangkau secara langsung atau panca indra. Batas pengetahuan ini ialah segala sesuatu yang tidak tertangkap oleh panca indera. Kedudukan Knowladge ini adalah penting sekali, karena dia merupakan tangga untuk menuju ilmu.
2. Pengetahuan Keilmuwan (Science)
Pengetahuan ini meliputi semua apa yang dapat diteliti dengan jelas atau dengan ekspermen sehingga bisa terjangkau lagi oleh rasio atau otak dan panca indra manusia.
3. Pengetahuan Falsafi
Pengetahuan ini mencakup segala fenomena yang tidak dapat diteliti, tetapi dapat di pikirkan batas pengetahuan ini, atau alam, bahkan juga bisa menembus apa yang ada di luar alam yaitu Tuhan.
Sumber Pengetahuan
Sumber pengetahuan manusia itu ada lima macam yaitu :
1. Empiris
Seseorang yang empiris biasanya berpendapat bahwa kita dapat meperoleh pengetahuan melalui pengalaman. Sifat yang menonjol dari jawaban ini dapat dilihat bila kita memperhatikan pertanyaan seperti, “bagaimana orang mengetahui es membeku?”, jawaban kita tentu berbunyi “karena saya melihatnya demikian” atau “karena seorang ilmuwan melihat demikian”. Dengan begitu, dapat dibedakan dua macam yatu . Pertama unsur yang mengetahui dan kedua unsur yang diketahui. Orang yang mengetahui merupakan subjek yang memperoleh pengetahuan dan dikenal dengan perkataan yang menunjukkan seseorang atau suatu kemampuan.
2. Rasionalisme
Tidaklah mudah membuat defenisi tentang rasionalisme sebagai suatu metode untuk memperoleh pengetahuan. Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal, bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan engalaman paling dipandang sebagai jenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesehatan terletak di dalam ide kita, dan bukan di dalam diri, jika kebenaran mengandung makna dan mempunyai ide yang sesuai atau kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada didalam pikiran kita dan hanya diperoleh dengan akal budi saja.
3. Fenomenalisme
Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman melakuan pendekatan terhadap masalah di atas dan memperhatikan kritik dari David Hume terhadap sudut pandangnya yang bersifat empiris dan yang bersifat rasional.
Marilah kita memahami apa yang diajarkan oleh Kant dengan memperhatikan pernyataan “kuman tifus menyebabkan demam tifus”. Bagaimanakah kita sampai dapat mengetahui keadaan yang mempunyai sebab dan akibat ini ?, umumnya orang mengatakan setelah di selidiki oleh para ilmuwan diketahui bahwa bila ada orang yang menderita tifus, tentu terdapat kuman tersebut.
4. Intuisionisme
Kita mudah merasa tidak puas terhadap penyelesaian yang diajukan oleh Kant, karena penyelesaiantersebut mengatakan bahwa pada babak terakhir kita hanya mengetahui modifikasi barang sesuatu dan bukannya barang sesuatu itu sendiri dalam keadaannya yang senyatanya. Nanti saya akan kembali kepada masalah apa yang sesungguhnya memang dapat kita ketahui. Jelaslah bahwa jawaban terhadapnya untuk sebagian ditentukan oleh uraian yang telah diberikan tentang asal mula pengetahuan. Batas-batas pengetahuan ditentukan oleh jenis-jenis alat yang kita gunakan untuk meperoleh pengetahuan itu.
5. Metode Ilmiah
Perkembangan ilmu alam merupakan hasil penggunaan secara sengaja suatu metode untuk memperoleh pengetahuan yang menggabungkan pengalaman dengan akal sebagai pendekatan bersama, dan menambahkan suatu cara baru untuk menilai penyelesaian yang disarankan. Dari banyak diantara uraian kita sampai sejauh ini, kita mungkin telah merasakan bahwa keulitan yang dihadapi oleh filsafat ialah bahwa “filsafat tidak ilmiah”,ia mungkin akan mengeluh “di dalam ilmu kita membicarakan kenyataan empiris, di dalam filsafat tampaknya tidak ada suatu cara untuk memperoleh jawaban.